HB Jassin: Pengalaman Menerjemahkan Al Quran Secara Puitis

Ketika istri HB Jassin meninggal dunia pada 12 Maret 1962, peristiwa ini cukup menggugah beliau. Dalam pengajian selama tujuh malam, dia mengaji terus sampai selesai 30 juz dalam tujuh hari. Pada malam kedelapan, ketika rumah sepi, dia meneruskan mengaji seorang diri. Tidak puas dengan sekedar membaca saja, dia mulai mempergunakan beberapa buku terjemahan untuk mendalami dan meresapi isi kitab suci itu.
Gambar dari sini

Ini kutipan tulisan HB Jassin dari pendahuluan buku Bacaan Mulia tsb:

Saya merasa tumbuh jiwa dan pengetahuan saya karena menyelami hikmah-hikmah yang terkandung dalam al Quran, ayat-ayat yang mustahil adalah bikinan manusia tapi firman-firman Tuhan sendiri. Keyakinan ini saya resapi kebenarannya, karena ayat-ayat itu meliputi masalah-masalah kehidupan yang amat luas serta tinggi dan dalam maknanya.

Saya merasa mengisi jiwa saya dengan firman-firman tuhan sehingga firman-firman itu menjadi nafas saya, menjadi darah yang beredar ditubuh saya, menjadi daging saya. Hari demi hari saya menyelami dan meresapi isi al Quran, keyakinan bertambah mantap dan padat. Saya menghadapi hidup dengan hati yang aman dan tenteram.

Sepuluh tahun lebih saya menyelami ayat demi ayat, tidak satupun hari yang lewat tanpa menghirup firman Tuhan, sekalipun hanya seayat dalam sehari. Ujian demi ujian menimpa pula bahkan pernah saya dituduh murtad dan berhadapan dengan hakim pengadilan atas tuduhan telah menghina Tuhan, menghina agama Islam, Rasul dan Nabi-nabi, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45.  Tapi semua itu saya terima sebagai cambuk untuk lebih dalam menyelam kedalam inti hakekat dan saya anggap sebagai karunia dari Tuhan Yang Mahaesa.

Sampai tibalah suatu hari hati saya terbuka untuk mulai meterjemahkan al Quran, setelah tanggal 7 Oktober 1972, di negeri dingin yang jauh dari katulistiwa yakni di negeri Belanda. Pikiran untuk menterjemahkan al Quran secara puitis timbul pada saya oleh membaca terjemahan Abdullah Yusuf Ali The Holy Quran yang saya peroleh dari kawan saya, Haji Kasim Mansur tahun 1969. Itulah terjemahan yang saya rasa paling indah disertai keterangan-keterangan yang luas dan universal sifatnya.

Untuk menimbulkan kesan yang estetis penyair mempergunakan irama dan bunyi. Bukan saja irama yang membuai beralun-alun, tapi juga – jika perlu- irama singkat melompat-lompat arau tiba-tiba berhenti mengejut untuk kemudian melompat lagi penuh tenaga hidup. Bunyi yang merdu didengar, ulangan-ulangan bunyi bukan saja diujung baris, tapi juga diantara baris, mempertinggi kesan keindahan pada pendengar atau pembaca.

Didalam persajakan Indonesia bunyi bergaung am, an dan ang dan bunyi sukukata-sukukata yang terbuka menuimbulkan kesan yang merdu. Bahasa Indonesia ternyata kaya akan aneka ragam bunyi sehingga tidak sukar untuk mencari kata-kata yang bagus kedengarannya demi persajakan diujung baris, diantara baris ataupun ditengah baris.

Dibawah ini sebuah contoh mengatur irama dengan mengobah letak perkataan sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya. Didalam surah (26) as-syu’ara dikisahkan firaun meminta pertimbangan kepada para pembesarnya apa yang harus dilakukan untuk melawan Musa.
Mereka menjawab: Suruhlah tunggu (Musa) dan saudaranya, dan kirim ke kota-kota para bentara (26:36)
Pada hemat saya lebih bertenaga dan penuh ancaman rasanya jika baris terakhir disusun demikian:
Dan kirim para bentara ke kota-kota
Dibawah ini sebuah contoh perbedaan pilihan kata yang menimbulkan perbedaan penghayatan estetis secara audiovisual. Surah (61) Ash-shaf ayat 2 kita lihat diterjemahkan:
Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?
Dapat dipuitisasikan demikian:
Mengapa kamu katakan
Apa yang tiada kamu lakukan?

Comments