Penolak Hadis Dari Dulu Hingga Kini

Islamic Science and Technology


Tentang Hadis 

 Petunjuk beragama bagi muslim adalah kita suci Al Quran dan Hadis. Al Quran dipercaya merupakan sabda Allah yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw dan dibukukan. Sedangkan hadist merupakan sabda dan perbuatan nabi Muhammad . Hadist berarti percakapan, berbicara atau perkataan. Al Quran menyatakan ada empat kitab suci yang harus dihormati yaitu Al Quran, Injil, Zabur dan Taurat. Oleh karena itu (kumpulan) Hadis bukanlah merupakan kitab suci. Walau demikian posisinya sangatlah penting sehingga saat ini membentuk apa yang kita kenal sebagai Islam itu sendiri.

Islam secara umum terdapat 4 golongan yaitu Sunni, Syiah, Ibadi dan Ahmadi. Bagi masing masing penganut golongannya adalah yang paling benar dan golongan lain sesat, tetapi bukan itu yang akan kita bahas disini. Persamaan dari ke empat golongan tersebut semuanya mempunyai kumpulan hadis untuk diikuti, tetapi dari sumber kumpulan hadist yang berbeda-beda.

• Sunni berpegang kepada 6 buku kumpulan hadis, yaitu:
1. Sahih al Bukhari oleh Imam Bukhari 810 – 870 (194 H – 256 H). Beliau lahir di Bukhara Uzbekistan.
2. Sahih Muslim oleh Imam Muslim 815-875 (204 – 261 H). Lahir Nishapur, Iran.
3. Sunan Abu Daud oleh abu Daud 817-889 lahir di Sistan, Iran
4. Jami’at Tirmidhi oleh Imam Tarmidhi 824 – 892 Lahir di Temez, Uzbekistan.
5. al Sunan al Sugra oleh al Nasa’i 829 – 915yang lahir di Nasa, Turkmenistan.
6. Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah 824- 915 lahir di Qazwin, Iran.


Dalam Islam sunni sendiri terdiri dari bermacam-macam mazhab. Islam bermazhab Maliki (mayoritas di Afrika Barat, Kuwait, Bahrain,UAE, Chad, Sudan) menolak Sunan Ibnu Majah dan menggunakan hadist Muwata Imam Malik.

• Syiah menggunakan 4 buah kitab hadist: Kitab al Kafi, Manla yahduruhu al Faqih, Tadhib al Ahkam dan Al Istibsar. • Ibadi ( dominan di Oman) berpegang kepada hadist Tartib al Musnad.

• Ahmadiyah berpegang kepada hadist yang sama dengan Sunni.

• Selain keempat golongan tersebut ada pula segolongan kecil Islam yang tidak mau berpegang kepada hadist apapun, dikenal sebagai Quranist. Ini akan dibahas terakhir.

Literatur hadis didasarkan pada laporan lisan yang beredar di masyarakat setelah kematian nabi Muhammad. Berbeda dengan Alquran, hadis tidak disusun dengan cepat dan ringkas selama dan segera setelah kehidupan nabi Muhammad (570 – 632/40H ). Hadis dievaluasi dan dikumpulkan ke dalam koleksi besar selama abad 8 dan 9, sekitar 200 tahun setelah jaman nabi Muhammad.

Matan dan Isnad 

Dua aspek utama dari sebuah hadits adalah teks dari laporan (matan) yang berisi narasi aktual, dan rantai perawi (isnad), yang mendokumentasikan rute dimana laporan tersebut dikirimkan. Isnad adalah upaya untuk mendokumentasikan bahwa sebuah hadits benar-benar berasal dari Muhammad.

Isnad secara harfiah berarti 'dukungan', dan dinamai demikian karena kepercayaan ahli hadits atasnya dalam menentukan keaslian atau kelemahan sebuah hadis. Isnad terdiri dari daftar kronologis perawi, masing-masing menyebutkan darimana mereka mendengar hadis tersebut, sampai menyebutkan penggagas matan beserta matan nya sendiri.

Orang pertama yang mendengar hadis adalah sahabat yang menghapalnya dan kemudian menyampaikannya kepada orang-orang setelah mereka. Kemudian generasi selanjutnya menerimanya, sehingga menyampaikannya kepada orang-orang setelah mereka dan seterusnya. Jadi sahabat nabi akan berkata, "Saya mendengar Nabi mengatakan hal itu dan itu." Orang selanjutnya akan berkata, "Saya mendengar seorang sahabat berkata: 'Saya mendengar Nabi….’". Orang selajutnya akan kemudian berkata : "Saya mendengar seseorang berkata: 'Saya mendengar seorang sahabat berkata: ' Saya mendengar Nabi ... “ dan seterusnya.

Koleksi hadis Sunni dan Syiah berbeda karena para ilmuwan dari dua tradisi berbeda mengenai keandalan perawi dan penerima. Perawi dari sisi Abu Bakar dan Umar dipandang tidak dapat dipercaya oleh Syiah. Narasi yang bersumber pada Ali dan keluarga Muhammad lebih diutamakan. Sebaliknya para ilmuwan Sunni mempercayai perawi seperti Aisah, yang ditolak Syiah. Perbedaan dalam koleksi hadis telah mengakibatkan perbedaan dalam praktik ritual dan hukum syariah dan telah membuat garis pemisah yang bertambah jelas antara dua tradisi tersebut.

Umat Islam tidak menyangkal adanya hadis palsu, namun meyakini bahwa melalui jerih payah para ahli hadis, hadis palsu ini telah banyak dihilangkan.


Kritik terhadap Hadis

Kritik terhadap hadist berkisar terutama seputar keaslian laporan hadits apakah hal itu betul dari nabi Muhammad . Selain itu ada juga masalah teologis dan filosofis, yaitu apakah hadits tersebut dapat memberikan keputusan mengenai masalah hukum dan agama? Apalagi karena Quran telah menyatakan dirinya ‘lengkap’, ‘ jelas’, ‘ sangat detil ‘ dan ‘sempurna’.

Kritik paling awal hadis yang tercatat ada dalam tulisan Kitab Jima al-Ilm-nya Imam Syafii (767 – 819).  Kelompok yang disebut Ahl al-Kalam menolak hadis atas dasar teologis. Argumen dasarnya adalah bahwa Quran adalah penjelasan tentang segala hal (AQ16:89). Mereka berpendapat bahwa ketaatan kepada Nabi justru terkandung dalam mematuhi Alquran yang diturunkan Allah kepadanya. Karena al Quran adalah hikmah, maka kebijaksanaan adalah keputusan khusus dari Kitab Suci. Salah satu argumen Ahl al-Kalam adalah bahwa "kumpulan hadis dipenuhi dengan tradisi yang kontradiktif, menghujat, dan tidak masuk akal."

Kelompok Mu'tazilah bisa dikatakan sebagai penerus Ahlul Kalam juga melihat perawian sunnah Nabi sebagai tidak cukup handal. Hadis, menurut mereka hanya dugaan belaka, sementara Quran itu lengkap dan sempurna, dan tidak mewajibkan hadis atau buku lainnya untuk melengkapinya.

Orientalis Prancis Barthélemy d'Herbelot (wafat tahun 1695) menulis bahwa kebanyakan dari enam buku hadis (kitab hadis yang paling penting) diambil dari Talmud. Sebuah studi yang lebih menyeluruh adalah "Al-Bukhārī and the Aggadah"(1943) oleh WR Taylor, membandingkan hadits-hadits ini dengan teks-tek dari Talmud dan midrashs, dan menyimpulkan bahwa hadis-hadits ini diambil dari Talmud dan Midrash. Aggadah adalah kumpulan teks rabbi yang menggabungkan cerita rakyat, anekdot sejarah, nasehat moral, dan nasehat praktis di berbagai bidang, mulai dari bisnis hingga pengobatan. Setelah itu, dia juga mengatakan bahwa ada banyak narasi dalam literatur hadis pada umumnya, khususnya dalam kitab al-Bukhārī, yang diambil dari literatur haggadik. Menurut pendapat Taylor, sejumlah besar informasi lisan, narasi, cerita, dan informasi folklorik masuk dalam literatur hadits, selama penerjemahan Talmud dan Mishnah dan setelah pembentukan hadis melalui orang Yahudi yang tinggal di Jazirah Arab, juga melalui para Bapa gereja dan komunitas Kristen.


Ahlul Quran 

Ibrahim Al-Naẓẓām (hidup antara 220/835 dan 230/845) dapat dikatakan sebagai quranist (ahlul Quran) pertama yang tercatat. Dia mengungkapkan bahwa hadist ahad dan mutawatir tidak dapat dipercaya untuk menghasilkan pengetahuan. Dia memperlihatkan hadis yang bertentangan dan memeriksa kandungan berbeda (matan) mereka untuk menunjukkan mengapa mereka harus ditolak. Mereka bergantung pada memori dan bias manusia yang bisa salah, yang keduanya tidak dapat dipercaya untuk menyebarkan hal yang benar.

Al-Naẓẓām juga mengatakan bahwa ḥadīs disebarkan dan berkembang untuk mendukung polemik dari berbagai sekte teologis dan ahli hukum. Dia juga tidak mempercayai konsensus karena menurutnya generasi pertama umat Islam memiliki kepribadian dan intelek yang bercacat. Penolakan Nazzam terhadap konsensus sebagai sumber hukum yang sah menjadikannya lebih ekstrim dan berbeda dari mu’tazilah. Nazzam mendirikan sebuah mazhab yang disebut Nazzamiyya yang menolak otoritas hadits dan mengandalkan Quran saja. Muridnya yang terkenal adalah al-Jahiz juga kritis terhadap orang-orang yang mengikuti hadis.

Al-Syafi'i (pendiri mazhab Syafii) menolak argumen para ahli Alquran dan menetapkan otoritas hadits dalam bukunya kitab Jima'al-'Ilm. Ibn Qutaybah menolak sebuah Argumen Nazzam melawan hadis dalam bukunya Ta'wil mukhtalif al-hadits.

Di Asia Selatan selama abad ke-19, gerakan Ahli Quran terbentuk secara parsial sebagai reaksi terhadap Ahli Hadits yang mereka anggap terlalu menekankan hadis. Banyak penganut Ahli Quran sebelumnya adalah penganut Ahli Hadits namun mendapati diri mereka tidak mampu menerima hadis tertentu. Organisasi ini dibentuk oleh Abdullah Chakralawi di Asia Selatan yang menggambarkan Quran sebagai "hadis ahsan", yang berarti hadits paling sempurna dan akibatnya tidak memerlukan tambahan apapun. Gerakannya bergantung sepenuhnya pada bab dan ayat Al Quran.

Chakralawi berpendapat bahwa Alquran sendiri adalah sumber tradisi yang paling sempurna dan dapat diikuti secara eksklusif tanpa memerlukan sumber lain. Menurut Chakralawi, Muhammad hanya menerima satu bentuk wahyu dan itu adalah Alquran. Dia berpendapat bahwa Alquran adalah satu-satunya catatan tentang hikmat Ilahi, satu-satunya sumber ajaran Muhammad, dan bahwa hal itu melebihi kumpulan hadis yang muncul kemudian.

Di Mesir pada awal abad ke-20, gagasan Alquran mempengaruhi Muhammad Tawfiq Sidqi dan tumbuh dari Salafisme yaitu penolakan terhadap taqlid. Muhammad Tawfiq Sidqi (wafat 1920) di Mesir menulis sebuah artikel berjudul 'al-Islam huwa ul-Qur'an Wahdahu' ('Islam adalah Alquran Sendiri) yang terbit di jurnal Mesir al-Manar, yang berpendapat bahwa Alquran cukup sebagai pedoman. Sidqi berpendapat bahwa hadis terlalu belakangan ketika dicatat sampai memungkinkan masuknya banyak tradisi yang tidak masuk akal atau salah.

Kritikus Mesir lainnya tentang hadis adalah Mahmud Abu Rayya (wafat tahun 1970), yang dalam bukunya tahun 1958 berjudul "Pencerahan dalam Sunah Muhammad" (Adwa 'al al- sunnah al-muhammadiyya), "seperti Sidqi", berpendapat bahwa "banyak hadis yang sahih sebetulmnya adalah dongeng Yahudi (Israiliyyat) yang dikaitkan dengan Muhammad".

Pada jaman sekarang penganut Ahlul Quran tersebar di berbagai Negara. Di Asia Selatan ada Ahli Quran, Submitters di Amerika Utara, Kala Kato di Nigeria Utara. Di Indonesia juga terdapat penganut Quranist walau sangat kecil jumlahnya. Website yang populer adalah freeminds.org, Quranic.org, quran-islam.org.

Ahlul Quran atau dikenal sebagai Quranist ini memiliki interpretasi yang sangat individualistik, menolak sektarianisme dan aturan agama secara umum sehingga sulit untuk memperkirakan jumlahnya saat ini. Hal tersebut juga karena ketakutan dianiaya karena dianggap murtad dan hal tersebut menurut Ahlul Hadis layak dihukum mati.

Comments

  1. Akhirnya ada tulisan lagi setelah lama tidak berkunjung :)

    ReplyDelete

Post a Comment