Al Quran Juga Buku

Sekitar akhir tahun ** an (disensor) saya bekerja di Jakarta dan mempunyai teman-teman hang out yang kebanyakan orang Kristen. Saya sama sekali tidak mempunyai masalah dengan hal ini. Masa itu bisa dibilang merupakan masa-masa gelap saya,dimana saya tidak mengetahui lagi apa itu iman dan keyakinan. Dalam hal keyakinan saya hampir-hampir tidak meyakini apa-apa, walaupun saya melakukan beberapa ritual Islam seperti salat (susah untuk melakukannya 5 waktu), bulan ramadhan berpuasa dan membeli domba untuk kurban.

Saya ingat seorang rekan kerja senior (kebetulan Kristen) menanyakan tentang kelajangan saya, dan saya bilang saya belum ada calon, lalu dia bilang berdoa saja Saya ingat sekali tanggapan saya. Saya tertawa. Betul-betul terasa aneh untuk saya untuk berdoa untuk hal seperti itu, bahkan ide untuk berdoa pun terasa aneh. Tapi momen itu selalu teringat.

Ada lagi satu momen biasa saja yang entah kenapa menempel terus diingatan saya. Saya memperhatikan bahwa di kamar seorang rekan Kristen dia meletakkan Injil di meja dekat tempat tidurnya. Hal itu terus teringat oleh saya. Saya pikir dia memperlakukan injil itu sebagai buku yang mudah diraih dan dibaca kapan saja, seperti buku yang lainnya.

Saya selalu berfikir al Quran itu lain, dia bukan hanya buku, tapi sesuatu yang harus dihormati, yang kita harus berwudhu untuk menyentuhnya, yang harus ditaruh di tempat terhormat di rak buku, yang tidak boleh ditindih oleh buku-buku lain. Saya tidak pernah menganggap al quran itu buku, yang harus dibaca. Saya jadi ingin baca al Quran, saya belum tahu isinya. Saya bahkan tidak mempunyai al Quran di kamar kost saya. Waktu saya pulang ke Bandung saya bawa terjemahan al quran yang ada di rak buku ke Jakarta.

pic dari shangri-la

Comments